Selasa, 18 Desember 2012

Platyhelminthes

Plathyhelminthes (Cacing Pipih) dan Ciri-cirinya- Coba carilah hewan cacing, kemudian amati bentuk tubuhnya! Jika kita memegangnya, tubuh cacing akan terasa lunak, tak bercangkang, dan bila cacing tersebut dipotong menjadi dua, maka akan terbentuk dua potongan yang sama, yaitu kiri dan kanan yang disebut simetris bilateral. Hewan ini hidup sebagai parasit pada organisme lain. Hewan ini termasuk triplobastik, yaitu memiliki tiga lapisan kulit, di antaranya adalah ektoderm, yaitu lapisan luar yang akan berkembang menjadi kulit, mesoderm, yaitu lapisan tengah yang akan menjadi otot-otot dan beberapa organ tubuh, ektoderma yaitu lapisan luar yang akan menjadi usus dan alat pencernaan.
Tahukah Anda sebenarnya cacing mempunyai berbagai bentuk dan rongga tubuh. Hewan ini dibagi menjadi tiga kelompok. Salah satunya adalah cacing berbentuk pipih yang sering dinamakan Plathyhelminthes (plathy = pipih, helminthes = cacing). Sesuai dengan namanya, karena cacing ini belum mempunyai rongga tubuh (selomata) sehingga bentuknya pipih seperti daun/pita. Di manakah kita mendapatkan cacing pipih? Cacing pipih dapat hidup di daerah sungai yang jernih dan di balik bebatuan, di air laut pun cacing ini juga bisa hidup.
1) Ciri-Ciri Umum Plathyhelminthes. Bentuk kepalanya segitiga dan terdapat dua bintik mata yang peka terhadap cahaya yang sering disebut oseli, panjangnya sekitar 2-3 cm. Bagian tubuhnya dibagi menjadi bagian kepala (anterior), ekor (posterior), bagian punggung (dorsal), bagian perut (ventral), dan bagian samping (lateral).
Gambar 8.17 Bermacam-macam cacing pipih
Gambar 8.17 macam-macam cacing pipih
Pada saat Anda mengambil cacing tersebut, maka tampak hewan ini mengeluarkan lapisan lendir yang licin di bawah tubuhnya. Bagaimana gerakan tubuhnya? Cacing tersebut akan bergerak dengan cepat ke depan di atas lendir dengan cara menggerak-gerakkan sejumlah besar silia yang ada di permukaan ventral. Silia ini akan hilang pada waktu dewasa dan mempunyai alat kait untuk menempel dan alat pengisap. Apabila terapung di air, maka akan berenang dengan gerakan tubuh yang mengombak, yang sangat memungkinkan untuk mencari makan secara aktif. Karena mempunyai mulut, maka makanan masuk dalam mulut di permukaan ventral menuju ke rongga gastrovaskular yang terletak di tengah tubuhnya yang terdapat usus-usus bercabang-cabang membentuk saluran-saluran ke seluruh tubuhnya, sehingga usus tersebut dapat berfungsi untuk mencerna makanan sekaligus untuk mengedarkannya. Karena cacing ini tidak mempunyai lubang anus, maka sisa makanannya keluar melalui lubang yang menjadi jalan masuknya makanan.
Gambar 8.18 Struktur tubuh cacing pipih 
Gambar 8.18 Struktur tubuh cacing pipih
Sama seperti Coelenterata, masuknya oksigen dan keluarnya karbon dioksida pada Plathyhelminthes melalui permukaan tubuhnya. Adapun sistem sarafnya karena sudah mempunyai kepala sehingga mempunyai sistem saraf pusat, yaitu mempunyai ganglion otak berjumlah sepasang yang dihubungkan dengan serabut saraf menyerupai tangga yang terbuat dari tali dan dikenal dengan sistem saraf tangga tali.
2) Perkembangbiakan Plathyhelminthes. Anda sudah membuktikan bahwa cacing ini ternyata mempunyai daya regenerasi sangat tinggi, yaitu dengan cara membelah diri. Cara demikian merupakan cara reproduksi secara aseksual. Pembelahan tubuh dimulai dengan penggentingan di belakang faring dan memisah menjadi dua hewan. Dapat juga apabila dari satu individu dipotong menjadi beberapa bagian, maka setiap bagiannya akan mampu membentuk individu baru.
Gambar 8.19 Perkembangbiakan aseksual Platyhelminthes 
Gambar 8.19 Perkembangbiakan aseksual Platyhelminthes
Selain secara aseksual, cacing ini dapat pula berkembang biak secara seksual karena hewan ini pada umumnya bersifat hemaprodit (satu individu mempunyai dua alat kelamin), tetapi akan terjadi perkawinan silang.
3) Jenis-Jenis Cacing Plathyhelminthes. Cacing ini dibagi menjadi tiga kelas, yaitu Turbellaria, Trematoda, dan Cestoda.
a) Turbellaria. Kelompok cacing Turbellaria adalah cacing yang hidup bebas dan bergerak dengan bulu getarnya, contohnya Planaria. Cacing ini dapat digunakan sebagai indikator biologis kemurnian air. Apabila dalam suatu perairan banyak terdapat cacing ini, berarti air tersebut belum tercemar karena cacing ini hanya dapat hidup di air yang jernih, sehingga apabila air tersebut tercemar maka cacing ini akan mati.
b) Trematoda. Jenis cacing Trematoda hidup sebagai parasit pada hewan dan manusia. Tubuhnya dilapisi dengan kutikula untuk menjaga agar tubuhnya tidak tercerna oleh inangnya dan mempunyai alat pengisap dan alat kait untuk melekatkan diri pada inangnya. Contoh anggota Trematoda adalah Fasciola hepatica (cacing hati). Cacing ini hidup di hati ternak kambing, biri-biri, sapi, dan kerbau.
(1) Fasciola hepatica. Bentuk dari cacing ini sama dengan cacing pipih lainnya, yaitu seperti daun.
Gambar 8.20 Cacing hati (Fasciola hepatica) 
Gambar 8.20 Cacing hati (Fasciola hepatica)
Cacing hati mempunyai ukuran panjang 2,5–3 cm dan lebar 1–1,5 cm. Pada bagian depan terdapat mulut meruncing yang dikelilingi oleh alat pengisap, dan ada sebuah alat pengisap yang terdapat di sebelah ventral sedikit di belakang mulut, juga terdapat alat kelamin. Bagian tubuhnya ditutupi oleh sisik kecil dari kutikula sebagai pelindung tubuhnya dan membantu saat bergerak. Cacing ini tidak mempunyai anus dan alat ekskresinya berupa sel api. Bagaimana daur hidup cacing ini sehingga dapat mencapai hati makhluk hidup?
Gambar 8.21 Daur hidup Fasciola hepatica 
Gambar 8.21 Daur hidup Fasciola hepatica
Cacing ini bersifat hemaprodit, berkembang biak dengan cara pembuahan sendiri atau silang, jumlah telur yang dihasilkan sekitar 500.000 butir. Karena jumlah telurnya sangat banyak, maka akan keluar dari tubuh ternak melalui saluran empedu atau usus bercampur kotoran. Jika ternak tersebut mengeluarkan kotoran, maka telurnya juga akan keluar, jika berada di tempat yang basah, maka akan menjadi larva bersilia yang disebut mirasidium. Larva tersebut akan berenang, apabila bertemu dengan siput Lymnea auricularis akan menempel pada mantel siput. Di dalam tubuh siput, silia sudah tidak berguna lagi dan berubah menjadi sporokista. Sporokista dapat menghasilkan larva lain secara partenogenesis yang disebut redia yang juga mengalami partenogensis membentuk serkaria.
Setelah terbentuk serkaria, maka akan meninggalkan tubuh siput dan akan berenang sehingga dapat menempel pada rumput sekitar kolam/sawah. Apabila keadaan lingkungan tidak baik, misalnya kering maka kulitnya akan menebal dan akan berubah menjadi metaserkaria. Pada saat ternak makan rumput yang mengandung metaserkaria, maka sista akan menetas di usus ternak dan akan menerobos ke dalam hati ternak dan berkembang menjadi cacing muda, demikian seterusnya.
(2) Schystosoma japonicum. Cacing ini sering disebut cacing darah karena hidup di dalam pembuluh darah balik atau vena pada manusia, kucing, babi, sapi, biri-biri, anjing, dan binatang pengerat. Banyak dijumpai di daerah Sulawesi.
Gambar 8.22 (a) Bentuk cacing darah (b) Daur hidup cacing darah 
Gambar 8.22 (a) Bentuk cacing darah (b) Daur hidup cacing darah
Ukuran cacing jantan lebih besar daripada cacing betina. Tampak tubuh cacing jantan melipat menutupi tubuh cacing betina yang lebih ramping. Jika cacing ini menulari manusia, maka akan menyebabkan penyakit schistosomosis yang menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat terbesar di Asia dan Afrika. Seseorang yang menderita penyakit ini akan mengalami kerusakan hati, kelainan jantung, limpa, ginjal, dan kantung kemih. Daur hidup cacing ini hampir sama dengan cacing hati. Telur yang dihasilkan akan keluar dari tubuh inang, kemudian akan ikut bersama kotoran dan menetas di dalam air. Oleh sebab itulah hendaklah kita minum air yang telah direbus sampai matang agar terbebas dari telur cacing ini.
(3) Clonorchis. Cacing Clonorchis hidup dalam hati manusia, daur hidupnya hampir sama dengan Fasciola, hanya inang perantaranya adalah ikan air tawar. Untuk menghindari penyakit ini, masaklah ikan air tawar secara sempurna karena jika terkena penyakit ini akan menyebabkan kerusakan hati yang dapat menyebabkan kematian.
c) Cestoda. Cacing ini dikenal sebagai cacing pita. Seperti cacing hati, cacing pita bersifat sebagai parasit pada hewan dan manusia, jumlahnya sekitar 1500 species. Cacing ini membentuk koloni seperti pita sehingga panjangnya bisa mencapai 20 m atau lebih. Tubuh kita dapat dimasuki cacing ini apabila kita memakan ikan, daging sapi, anjing, atau babi yang tidak matang. Jenis yang terkenal adalah Taenia saginata (inangnya hewan sapi) dan Taenia solium (inangnya hewan babi). Kulit Cestoda dilapisi kitin dan bagian tubuhnya terdiri atas kepala (skoleks) yang berukuran sekitar 1 mm, yang terdiri dari 4 alat pengisap. Bentuk tubuhnya terdiri atas segmen-segmen yang disebut dengan proglotid. Cacing ini tidak mempunyai saluran pencernaan. Apabila memperoleh makanan akan masuk ke dalam proglotid dengan cara diserap (diabsorbsi) dan sistem saraf tidak berkembang. Setiap proglotid mampu bernapas dan bereproduksi. Seperti cacing yang lain, cacing ini bersifat hemaprodit. Semakin ke arah belakang, ukuran proglotid semakin besar dan dewasa, dan pada bagian akhir/ujung berisi telur.
Gambar 8.23 Proglotid cacing pita 

Gambar 8.23 Proglotid cacing pita
Perhatikan pula daur hidup cacing pita pada Gambar 8.24!
Gambar 8.24 Daur hidup cacing pita 
Gambar 8.24 Daur hidup cacing pita
Daur hidup cacing pita dimulai dari terlepasnya proglotid tua yang bersama feses akan keluar dari tubuh manusia. Tiap proglotid berisi ribuan telur. Tiap ruas pada proglotid akan hancur sehingga telur yang telah dibuahi akan tersebar di mana-mana. Telur akan berkembang menjadi zigot kemudian tumbuh menjadi larva onkosfer di dalam kulit telur. Apabila tertelan oleh babi maka akan masuk dan dicerna oleh usus. Selanjutnya, larva tersebut akan menembus pada pembuluh darah, pembuluh limfe, dan akhirnya akan masuk pada otot lurik. Di sinilah larva tersebut berubah menjadi kista yang makin lama makin membesar sehingga akan terbentuk cacing gelembung (sistiserkus). Selanjutnya, dinding sistiserkus akan tumbuh menjadi skoleks.
Apabila seseorang makan daging babi yang belum matang, kemungkinan besar sistiserkusnya masih hidup sehingga di dalam usus manusia sistiserkus akan tumbuh menjadi skoleks, dan menempel pada dinding usus. Dari leher skoleks, akan muncul proglotid yang semakin lama semakin bertambah banyak dan ukurannya semakin bertambah panjang. Proglotid pada bagian akhir kemudian akan meloloskan diri dan keluar bersama feses manusia, demikian seterusnya. Contoh di atas merupakan daur hidup pada Taenia solium dengan perantara babi, contoh perantara yang lain adalah sapi dengan melalui jenis cacing Taenia saginata. Perbedaan Taenia saginata dengan Taenia solium, yaitu hanya pada skoleksnya yang tidak mempunyai kait, cacing ini juga mudah diberantas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar